Senin, 16 Januari 2012

Lidah adalah amanah

Kualitas diri seseorang
bisa diukur dari
kemampuannya menjaga
lidah. Orang-orang
beriman tentu akan
berhati-hati dalam
menggunakan lidahnya.
"Wahai orang-orang
beriman takutlah kalian
pada Allah dan berkatalah
dengan kata-kata yang
benar." (QS Al-Ahzab:70).
Sementara itu, Rasulullah
saw bersabda, "Siapa yang
beriman pada Allah dan
hari akhir, maka
hendaklah dia berkata
baik atau diam". (HR
Bukhari-Muslim).
Rasulullah adalah figur
teladan yang sangat
menjaga kata-katanya.
Beliau berbicara, beruap,
berdialog, juga
berkhutbah di hadapan
jamaah dengan akhlak.
Demikian tinggi akhlak
beliau hingga disebutkan
bahwa kualitas akhlak
beliau adalah Al-Quran.
Mulut manusia itu seperti
moncong teko. Moncong
teko hanya mengeluarkan
isi teko. Kalau ingin tahu
isi teko, cukup lihat dari
apa yang keluar dari
moncong itu. Begitu pun
jika kita ingin mengetahui
kualitas diri seseorang,
lihat saja dari apa yang
sering dikeluarkanoleh
mulutnya.
Nabi Muhammad saw
termasuk orang yang
sangat jarang berbicara.
Namun, sekalinya
berbicara, isi
pembicaraannya bisa
dipastikan kebenarannya.
Bobot ucapan Rasulullah
sangat tinggi, seolah tiap
kata yang terucap adalah
butir-butir mutiara yang
cemerlang. Indah,
berharga, bermutu, dan
monumental. Ucapan
Rasulullah saw menembus
hati, menggugah
kesadaran, menghujam
dalam jiwa, dan
mengubah perilaku orang
(atas izin Allah). Bukan
saja karena lisan
Rasulullah dibimbing Allah
dan posisinya sebagai
penyampai wahyu, di
mana ucapan-ucapan
darinya menjadi dasar
hukum. Lebih dari itu,
Rasulullah sejak kecil
sudah dikenal sebagai Al-
Amin, tidak pernah
berkata dusta walau sekali
saja. Investasi moral ini
tentu sangat
mempengaruhi kualitas
ucapannya.
Dalam sebuah kitab ada
keterangan menarik.
Disebutkan ada empat
jenis manusia diukur dari
kualitas pembicaraannya.
Pertama, orang yang
berkualitas tinggi. Kalau
dia berbicara, isinya sarat
dengan hikmah, ide,
gagasan, solusi, ilmu,
dzikir, dan sebagainya.
Orang seperti ini
pembicaraannya
bermanfaat bagi dirinya
sendiri, juga bagi orang
lain yang mendengarkan.
Jika dia diajak berbicara
sekalipun ngobrol,
ujungnya adalah manfaat.
Ketika disodorkan
padanya keluhan tentang
krisis, dengan tangkas dia
menjawab, "Krisis adalah
peluang bagi kita untuk
mengevaluasi kekurangan
yang ada. Dengan krisis,
siapa tahu kita akan lebih
kreatif? Kita bisa mencari
celah-celah peluang
inovasi. Pokoknya jangan
putus asa, semangat
terus!" Siapa saja yang
biasa berbicara tentang
solusi, gagasan, hikmah,
dan hal-hal serupa itu,
insya Allah dia adalah
manusia yang berkualitas.
Kedua, orang yang biasa-
biasa saja. Ciri orang
seperti ini adalah selalu
sibuk menceritakan
peristiwa. Melihat ada
kereta api terguling, dia
berkomentar ribut sekali.
Seolah dirinya yang
kelindes kereta. Ketika
bertemu seorang artis,
terus dicerita-ceritakan
tiada henti. Pokoknya ada
apa saja dikomentari. Dia
seperti juru bicara yang
wajib berkomentar kapan
pun ada peristiwa. Tidak
peduli peristiwa layak dia
komentari atau tidak.
Ini tipe manusia tukang
cerita peristiwa. Prinsip
yang dia pegang:
"Pokoknya bunyi!" Tidak
ada masalah dengan
peristiwa. Jika melalui itu
semua kita bisa
memungut hikmah yang
sebaik-baiknya, insya Allah
peristiwa bermanfaat.
Namun, jika dari
peristiwa-peristiwa itu
tidak ada yang dituju
kecuali menunggu sampai
mulut lelah sendiri, ini
tentu kesia-siaan.
Ketiga, orang rendahan.
Cirinya kalau berbicara
isinya hanya mengeluh,
mencela, atau menghina.
Apa saja bisa jadi bahan
keluhan."Aduuuh ini
pinggang, kenapa jadi
sakit begini. Hari ini
kayak-nya banyak
masalah, nih!" Ketika
kepadanya disodorkan
makanan, jurus
keluhannya segera
berhamburan. "Makanan
kok dingin begini? Coba
kalau ada sambel, tentu
lebih nikmat. Aduuuh,
kerupuk ini, kenapa kecil-
kecil begini?" Terus saja
makanan dikeluhkan,
walau kenyataannya
semua akhirnya habis
juga.
Mengeluh dan mencela, itu
hari-hari orang rendahan.
Seolah tiada hari berlalu
tanpa keluh-kesah. Ketika
turun hujan, hujan segera
dicaci. "Ohh, hujan melulu,
di mana-mana becek.
Jemuran nggak kering-
kering." Ketika di jalanan
macet, mengeluh. Ketika
ada lampu merah,
mengeluh. Ketika ada
polisi, mengeluh. Ketika
ada orang meminta-
minta, mengeluh. Dan
seterusnya. Seolah tiada
hari berlalu tanpa keluh-
kesah. Alangkah
menderita hidup orang
yang dipenjara oleh keluh-
kesah. Dia tidak bisa
membedakan mana
nikmat dan mana
musibah. Seluruh lembar
hidupnya dimaknai
sebagai kesusahan,
sehingga layak
dikeluhkan.
Keempat, orang yang
dangkal. Adalah mereka
yang semua
pembicaraannya tidak
keluar dari menyebut-
nyebut kehebatan dirinya,
jasa-jasanya, kebaikan-
kebaikannya. Padahal
hidup ini adalah
pengabdian untuk Allah.
Mengapa harus kita
membanggakan apa yang
Allah titipkan pada kita?
Ada orang pakai cincin
segera berkomentar, "Oh,
itu sih mirip cincin saya."
Ada orang beli mobil baru,
"Nah, ini seperti yang
digarasi saya itu." Ada
kucing berbulu tebal
melompat, "Kucing ini
gondrong. Oh yaa, kucing
gondrong itu mirip singa.
Hai, tau nggak? Saya
sudah pernah ke
Singapura, lho. Hebat
sekali kota Singapura.
Hanya orang yang hebat
saja bisa pergi ke sana."
Orang-orang dangkal ini
akan terus berbicara tiada
henti. Tak lupa dia selalu
menyelipkan kata-kata
kesombongan dan
membanggakan diri.
Orang-orang dangkal
tiada bosan mengekspose
diri, menyebut jasa,
kebaikan, dan prestasinya.
Dia selalu ingin tampak
menonjol dan
mendominasi. Jika ada
orang lain yang secara
wajar tampak lebih baik,
hatinya teriris-iris, tidak
rela, dan sangat berharap
orang itu akan segera
celaka. Inilah ilmu gelas
kosong. Gelas kosong,
maunya diisi terus. Orang
yang kosong dari harga
diri, inginnya minta
dihargai terus. Kita harus
berhati-hati dalam
berbicara. Harus kita
sadari bahwa berbicara itu
dibatasi oleh etika-etika.
Hendaklah kita ada di atas
rel yang benar. Jangan
sampai kita jatuh dalam
apa-apa yang Allah larang.
Dalam berbicara kita
jangan bergunjing
(ghibah). Bergunjing
adalah perbuatan yang
ringan, bahkan bagi
sebagian orang mungkin
dianggap mengasyikkan.
Namun, jika dilakukan
dengan sengaja, apalagi
dengan kesadaran penuh
dan tekad menggebu,
bergunjing bisa menjadi
dosa besar.
"Dan janganlah kalian ber-
ghibah (bergunjing)
sebagian kalian terhadap
sebagian yang lain.
Apakah suka salah-
seorang dari kalian makan
daging bangkai
saudaranya? Maka, kalian
tentu akan sangat jijik
kepadanya. Dan takutlah
kalian kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat." (QS Al-
Hujurat:12).
Kita tidak bisa memaksa
orang lain berbuat sesuai
keinginan kita. Tapi kita
bisa memaksa diri kita
untuk melakukan yang
terbaik menyikapi sikap
orang lain. Banyak bicara
tidak selalu buruk, yang
buruk adalah banyak
berbicara kebatilan. Boleh-
boleh saja kita produktif
berbicara, tapi harus
proporsional. Jika kita
berbicara hal yang benar
dan memang harus
banyak, tentu kita lakukan
hal itu. Pembicaraan
seringkali bergeser dari rel
kebaikan ketika kita tidak
proporsional.
Semua orang harus
menjaga lidahnya. Tidak
peduli apakah itu orang-
orang yang dianggap ahli
agama. Orang-orang yang
pandai membaca Al-Quran
atau hadis, tidak otomatis
pembicaraannya telah
terjaga. Di sini tetap
dibutuhkan proses belajar,
berlatih, dan
terusberjuang agar mutu
kata-kata kita semakin
meningkat.
Alangkah ironi jika orang-
orang yang ahli agama,
namun tidak menjaga
lisan. Dia banyak
menasihati umat dengan
perilaku-perilaku yang
baik, tapi saat yang sama
dia tidak melakukan hal
itu. Jika orang-orang
preman berkata kasar,
jorok, dan tak mengenai
tatakrama, orang masih
maklum. Namun, jika
orang-orang alim yang
melakukannya, tentu ini
adalah bencana serius.
Satu langkah konkret
untuk memulai upaya
menjaga lisan adalah
dengan mulai mengurangi
jumlah kata-kata. Makin
sedikit bicara, makin tipis
peluang kesalahan.
Sebaliknya makin banyak
bicara, peluang tergelincir
lidah semakin lebar. Jika
lidah kita telah meluncur
tanpa kendali,
kehormatan kita seketika
akan runtuh.
Berbahagialah bagi siapa
yang bisa berkata dengan
akhlak tinggi. Selalu
berkata baik. Jika tidak,
cukup diam saja!
Saudaraku, sadarilah
bahwa lidah ini adalah
amanah. Tiap-tiap kata
yang terucap darinya
kelak akan
dipertanggungjawabkan
di hadapan Allah. Jadikan
ucapan-ucapan kita adalah
modal untuk mengundang
keridhaan Allah. Jangan
jadikan kata-kata itu
sebagai sebab datangnya
murka dan kebencian-Nya.
Semoga Allah SWT
membimbing lisan kita
untuk berucap mengikuti
keteladanan Rasulullah
saw. Ucapan itu keluar
dari lisan bagai untaian
mutiara yang sarat
dengan kebenaran,
berharga, bermutu, dan
membawa maslahat bagi
siapa pun yang
mendengarkannya. Amin.
Wallahu a'lam bish
shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Klou mau berkomentar yg sopan ya!!